Sebagaimana umumnya negara-negara di Asia Selatan, masyarakat Pakistan pun punya tradisi kekerasan politik (gewalt politic) dan politik kekerasan secara mendarah daging, yang pada gilirannya menjadi kendala besar bagi terwujudnya kehidupan integratif. Apalagi sampai kini Pakistan belum punya lembaga politik-administratif yang dapat dijadikan sarana pemersatu bangsa. Propinsi Sind misalnya, partai politik yang ada masih cenderung komunalis. Kaum Mohajir imigran India yang menguasai ekonomi dan berpendidikan tinggi umumnya mendukung MQM. Sedangkan penduduk asli ethnis Sind yang umumnya miskin namun mendominasi pemerintahan dan polisi propinsi ternyata cenderung mendukung PPP yang memang didirikan dan dipimpin oleh para tokoh Sindh.
Pola pengelompokan dan atau dukungan semacam itu akhirnya justru memunculkan dan menyuburkan sentimen berdasar primordialisme kesukuan. Akibatnya, tak aneh bila propinsi Sindh –dan Pakistan umumnya– tak henti-hentinya menjadi daerah rentan bagi pengelompokan politik bahkan pertentangan ethnis yang selalu mengancam stabilitas negara. Begitupula, akibat tradisi kekerasan serta dengan masih kentalnya isu primordialisme itu maka pendekatan yang semata-mata berdasar pada metode persuasif akhirnya tak pula berjalan efektif.
Memang tidak manusiawi seandainya pemerintah terus-menerus menerapkan kekerasan dalam upaya menanamkan kepatuhan massa dan ketertiban. Namun untuk masyarakat “bertradisi konflik” macam Pakistan nampaknya diperlukan seorang penguasa yang kuat dan tegas, yang mampu memerintah dengan mengkombinasikan antara coersif (kekerasan) dengan persuasif (pendekatan). Artinya, pemerintah di tuntut bukan saja mampu menjamin kehidupan demokratis, tetapi juga mampu bersikap keras bila situasi sedang memaksa. Dengan kata lain, langkah yang diambil bukan harus didasarkan kebijakan yang dianggap “benar” dan disetujui oleh seluruh anggota masyarakat, melainkan adalah kebijakan yang terbaik dan termungkin, terutama dalam saat kemelut akibat pertentangan kepentingan.
Ternyata mendiang Benazir justru jauh dari tipe pemimpin sedemikian, sehingga dapat dipahami jika dia “gagal” menangani konflik ethnis. Bahkan akibat “ketiadaan sikap sedemikian” oleh lawan politiknya Benazir justru dianggap bersikap memihak dalam kemelut ethnis. Sikapmana tercermin dari keengganan Benazir untuk segera memberikan ijin pada militer guna menangkap dan mengadili biangkerok kerusuhan yang diduga didominasi kaum Sindh, pendukung kuat PPP yang memang dipimpin Benazir. Padahal untuk mewujudkan integrasi nasional kepala negara dan atau pemerintahan dituntut mengembangkan sikap mengidentikkan diri dengan bangsa secara keseluruhan. Begitupun pemimpin hanya akan menjadi pusat tumpuan kesetiaan dari setiap rakyatnya dan akan mampu menyerukan rasa persaudaraan hanya bila dia bersikap mempersonifikasikan diri dengan bangsa serta memperlihatkan perhatian dan rasa hormatnya pada semua suku dan berbagai golongan berbeda. Sebagai pimpinan pemerintahan Benazir dipandang gagal mengembangkan sikap sedemikian, yang oleh oposisi dianggap masih bersikap sebagai pemimpin PPP, dan bukan sebagai pemimpin nasional Pakistan. Bahkan karena sikap sedemikian pula akibatnya MQM yang mitra koalisi PPP merasa dikhianati, sehingga MQM membelot serta bekerjasama dengan oposisi menentang pemerintahan Benazir.