Sangat beruntung rasanya, kami berkenalan dengan para petualang muda yang rela meninggalkan Indonesia untuk menuntut ilmu jauh dari keluarga: Saudi Arabia. Terus terang, saya mendapatkan beberapa kesan khusus terhadap mereka.
Di Makkah Al Mukarromah misalnya, Mas Erika merupakan profil yang langsung akrab dengan orang yang baru ditemuinya. Percakapan mengalir seolah tak ada batasan apatah lagi kecurigaan. Berbagai informasi yang sensitif pun sempat dia sampaikan tanpa keraguan. Mas Mubarok tampaknya tak jauh beda, langsung semanak mendampangi kami, menyela kegiatan super padat urusan umroh yang harus ia jalani.
Bagaimana dengan yang di Madinah al Munawwaroh ? Dari segi gaya agak berbeda, namun substansinya tetap sama. Mas Nahidl merupakan profil ”pendiam” sehingga bicara terkesan secukupnya. Mas Azmy terkesan dingin dari tatapan mata dan ekspresi wajahnya, namun setelah kenal ternyata cukup hangat orangnya. Mas Azmy lah yang menurut mas Nahidl sempat didaulat mendampingi Muhammad Nuh, mantan menteri Pendidikan kita, selama mengunjungi Saudi Arabia. Adapun mas Fakhruddin, lelaki asal Gresik senantiasa tampak optimis ceria, dengan senyum tak pernah lepas dari bibir ketika bicara. Mungkin karena karekter itu pula, mas Fakhruddin memiliki jaringan dengan beberapa pejabat dan atau dosen di kampusnya. Mas Izdihar masih terlihat gaya mudanya, meskipun sudah 24 tahun usianya. Sementara mas Imam Khairul Annas meski dari raut muka terlihat paling muda, namun gaya bicara dan informasi yang disampaikannya terkesan matang. Mungkin jabatan ketua PPMI Saudi Arabia, serta sering melakukan kunjungan ke berbagai kota untuk menemui mahasiswa yang ”dipimpinnya”, menjadikan mas Imam menjadi lekas dewasa. Oh ya, sebenarnya kami juga sempat jumpa Muhammad Sidqi (ketua PPMI Madinah), yang dilakukan malam hari. Karena pertemuan singkat sekali (19.30-21.00), saya belum mampu menangkap kesan profil pemuda ini, kecuali satu kata : cerdas.
Intinya, siapapun mereka, aku berdo’a semoga perjuangan dalam meraih pendidikan akan menuai keberkahan, baik untuk diri, keluarga, bangsa, atau bahkan masyarakat Islam dunia. Amin….
Kami tak sempat makan bersama mahasiswa Makkah kecuali dengan mas Oebaidillah. Namun di Madinah, kami sempat beberapa kali makan bareng mahasiswa. Mungkin inilah yang dinamakan berkah, baik untuk kami maupun untuk mereka. .
Beberapa kali di restoran, kami berdampingan dengan orang-orang Arab yang juga sedang makan. Sesekali kusempat melirik. Masyaallah, porsi yang disajikan sungguh luar biasa. Satu orang saja , dihadapkan pada sebuah nampan besar yang untuk ukuran normal Indonesia bisa dimakan bertiga. Problemnya, porsi makanan besar itu umumnya tak berhasil dihabiskan. Walhasil, sebagian besar mereka akhirnya menyisakan makanan bahkan ada yang hampir separoh dari sajian. Sisa makanan itu akhirnya menjadi sampah, yang ketika dikumpulkan menjadi sangat berlimpah.
”Naudzubillah min dzaalik…”, hatiku meradang melihat fenomena ini. ”Apakah mereka tak pernah mendengar ajaran Islam, bahwa perilaku mubazir dapat menjadikan teman setan ? Apakah mereka tak pernah baca, bahwa sikap boros buang-buang makanan menjadi bagian dari perilaku kerusakan ? Apakah mereka tak pernah nonton TV betapa di berbagai belahan bumi banyak manusia mati karena kelaparan ? Itulah serangkaian tanya yang menggelayut dalam dada, untaian kemarahan yang berkecamuk di kepala. Intinya, mereka mungkin belajar Islam sehari-hari, bahkan hidup di tanah suci, namun khusus dalam soal makan perilakunya jauh dari kata Islami.
”Astaghfirullah ” , aku mengelus dada, mohon ampunan karena telah menilai orang lain berdasar parameter kekurangan. Haasibuu qobla antuhaasabuu: Nilailah dirimu sendiri sebelum engkau menilai orang lain, demikian ajaran Islam telah mengajarkan.***