Waktu Maghrib telah lewat, saat Isya’ sedang merayap. Gelap. Hanya ”sinar lentera” yang membantu kami untuk mengenali berbagai panorama yang menjadi obyek penglihatan mata. Tak ada keindahan dalam keremangan, kecuali hanya biasan benda yang obyek mya sempat terpapar oleh sinar dalam kegelapan.
Di tengah keremangan malam itulah, kami memasuki kota Madinatun Nabi – Madinah al Munawwaroh. Madinah di malam hari, ternyata dijerat kemacetan yang parah sekali. Apalagi beberapa lorong jalan menuju penginapan, ternyata ditutup akibat sesuatu alasan. Kami harus putar-putar dahulu untuk mencapai Mubarak Silver hotel yang kami tuju.
”Hitung-hitung city tour gratis”, kata mas Hamdan menenangkan di tengah rasa penat yang sudah mulai menyerang.
”Sopirnya saja tetap cool tak mengekspresikan jenuh kemarahan”, timpal Wawan ikut menenangkan.
Kulirik Fakhry, sang koordinator yang sedang asyik melihat kanan kini penuh ketakjuban. ”Mas… itukah masjid Nabawinya ?, dia bertanya tiba-tiba, sembari jari menunjuk ke arah menara.
Akhirnya sampai juga kami tepat di jalanan tepat di bagian belakang hotel. Prosesi memasuki dan berbenah di penginapan, ternyata butuh waktu beberapa saat. Walhasil, tak hanya Maghrib, jamaah Isya’ pun terpaksa kami ketinggalan.
Namun, Fakhry, mas Hamdan, dan Wawan tetap memutuskan untuk shalat di Nabawi, meskipun hanya shalat di halaman masjid Nabi. Maklum, mereka memang ingin segera pulang, mereka ingi segera meluruskan badan, setelah perjalanan panjang melelahkan. Saya sendiri terpaksa pilih shalat di hotel saja, sebab perasaan mriang tiba-tiba menyerang raga. Aku menggigil, sesaat ketika menyentuh air untuk berwudlu.
Dalam situasi ini saya harus membuat keputusan : harus pandai-pandai mengelola badan, mengingat apa yang kami lalui baru separuh perjalanan, baru setengah tugas dari yang kami jadwalkan. Buru-buru jaket kukenakan, jama’ maghrib-isya’ segera kulakukan, lantas minum obat disusul tidur merebahkan badan . Dengan prosesi menata diri ini, esuk pagi, badanku sudah terasa nyaman lagi. Alhamdulillah wa syukurillah….
Meski badan telah segar kembali, namun di Jum’at 7 April 2017 ini, kami tak langsung berkunjung ke kampus – kantor karena Jum’at adalah hari libur pekanan di Saudi. Ketika di Jeddah – Makkah, kami juga dihadapkan pada status liburan . Bedanya, di kedua kota itu libur terjadi akibat uthlah nisfu sannah (libur tengah tahun), maka di Madinah terjadi hanya karena uthlah yaumil jumuah. Walhasil, hari pertama di Madinah akhirnya kami manfaatkan untuk kunjungan ke berbagai lokasi peradaban Islam.
Pagi Ba’da Subuh, saya memperkenalkan Fakhri dengan beberapa lokasi di sekitar masjid Nabawi, mulai dari batas-batas Raudhah sampai posisi lokasi makam Nabi. Saya memang memang tak mengajak masuk Raudlatun Nabi, karena untuk hal itu kami harus antri yang bermakna waktu dan tenaga akan terkuras di lokasi ini. Padahal situasi badan belum prima sekali, dan tenaga yang kami miliki belum fit kembali. Kami harus cukup istirahat sehingga kami hanya menyusuri lorong menuju makam nabi, meskipun untuk menuju lokasi saya tetap melewati jalur di belakang roudhotun nabi. Walhasil, sambil jalan menuju makam Nabi, saya bisa menjelaskan batas-batas dan ciri-ciri Raudlah di Nabawi: yakni terletak antara tiang makam/kamar dengan mimbar nabi, yang secara khas dilapisi keramik berwarna agak putih, berbeda dengan tiang-tiang di kanan dan kiri. Setelah menelusuri lorong di belakang Raudhah Nabi, akhirnya sampailah kami di kubur Nabi. Lokasi, makam nabi posisinya tepat di bawah kubah berwarna hijau.
Setelah sarapan pagi, kami istirahat sejanak untuk mengumpulkan energi. Ba’da jamaah dzuhur, barulah kami kembali menapaki berbagai lokasi di sekitar Madinah ini. Kali ini, mas Isdihar mengiringi perjalanan keliling lokasi sekitar Nabawi, Pertama sekali, kami diantar ke lokasi di arah belakang masjid Nabawi . ”Subhanallah, di tengah Madinah yang ”gersang”, ternyata ada sebuah taman penuh tetumbuhan”, komentarku takjub.
”Inilah yang disebut lapangan Bani Sa’idah”, tukas mas Isdihar, ”di lokasi ini kaum Muhajirin – Ansyar dahulu berhasil mengatasi ”problem” kepemimpinan pasca wafatnya Nabi kembali ke haribaan Tuhan.
Terus terang, baru kali ini saya mengetahui lokasi ini., meskipun sudah dua kali ziarah ke kota nabi. Sebagaimana kebijakan pariwisata yang sedang dikembangkan, taman Bani Saidah selain ditata diisi dengan berabagia tumbuhan dan kembang, di lokasi juga dipasang papan, berisi penjelasan tentang lokasi yang dijadikan obyek kunjungan.
Berikutnya, kami diajak mengunjungi Ma’arid Al Asmaul Husna (ekshibisi atau pameran Asmaul Husna), berikutnya Ma’arid Al Qur’an (Pmeran Al Qur’an). Tahun 2015 saya pernah berkunjung ke dua lokasi ini, yang di tahun itu memang baru dibuka pertamakali. Tak ada beda, apa yang dipamerkan dibanding dua tahun sebelumnya. Hanya saja dalam soal perawatan alat peraga (termasuk komputer pemberi informasi yang lebih lengkap) ternyata beberapa rusak tak bisa dipakai lagi. Di lokasi inilah kami melihat berbagai koleksi al Qur’an kuno, dan segala hal terkait al Qur’an, termasuk al Qur’an Kuno dibuat tahun 870 M yang justru didapatkan dari Dublin – Inggris (?).
Sebenarnya ada satu lokasi lagi, yakni Ma’aridh Masjidul Nabawy yakni museum masjid Nabawi, namun sejak tahun 2015 sampai datang lagi di tahun 2017 masih belum dibuka, konon katanya memang belum siap untuk kelengkapan koleksinya.
Ketika adzan Asyar berkumandang, kami segera menuju masjid untuk jeda sembahyang. Ba’da Asyar kami kembali melakukan ziarah – kunjungan melakukan petualangan khusus di tengah perkotaan. Mas Hamdan-Izdiha-Wawan memilih datang ke perpustakaan Nabawy, sedangkan saya mengantar Fakhry untuk mengena ”masjid” di sekitar lokasi. Di pintu 8 langsung berjalan ke arah kanan, kami melangkah menuju masjid Al Ghumamah, lokasi sholat Istisqo’ yang dahulu pernah dilakukan Nabi. . Jika di tahun 2015 saya sempat sholat di dalamnya, kali ini kami hanya foto-foto di depannya. Beranjak dari Al Ghumamah kami melangkah ke masjid Abu Bakar dan berikutnya memutar menuju masjid Ali. Masjid-masjid itu, kokon dahulu merupakan tempat tinggal (sekaligus musholla pribadi) dari Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Sebenarnya maksud hati ingin juga menuju masjid Umar, masjid Utsman , bahkan masjid Bilal, namun karena panas terasa menyengat . kami lantas membatalkan niat. Sebab, kami memang harus mengumpulkan energi, untuk tugas meneliti di lain hari.***