Archive for the ‘Uncategorized’ Category

Asing di Saudi : Kini Hidup Tak Gampang Lagi (Bagian 30)

Selasa masih pagi. Namun,  untuk ukuran Saudi  sinar  sang mentari telah terasa menyengat sekali.  Kami barusan  menyelesaikan satu urusan,  yakni  beli oleh-oleh  untuk menghabiskan sisa uang.  Tak ada agenda penting di hari Selasa ini,  kecuali mengepak  barang-barang bawaan.  Sebenarnya tak terlalu banyak oleh-oleh yang kami beli,  sebab uang tersisa memang tak banyak lagi.  Namun,  hadiah buku dari berbagai lembaga yang kami kunjungi,  menyebabkan kami kesulitan mengatur ”tas bagasi”.  Akhirnya,  kami beli dua tas lagi,  Fakhry beli satu atas nama pribadi,  dan mas Hamdan dibelikan satu dalam status tim alias  ”berbagi”.  Walhasil,  semua barang bawaan termasuk berbagai buku pemberian akhirnya berhasil kami bungkus secara rapi.

Di waktu sisa inilah aku  menyempatkan diri berbaring meluruskan badan.  Ah…,  kataku mendesah.  Seolah selaksa beban kerjaan yang berhari-hari membebani,  hari Selasa ini  sudah lepas dari pundak kami.  Di tengah ”pembaringan” inilah,  pikiranku melayang-layang lagi,  seolah mengevaluasi pengalaman  selama hampir dua minggu di tanah suci.

Di berbagai penjuru Saudi kami senantiasa berjumpa wajah-wajah asing  non Saudi.  Mereka bukanlah jamaah Umroh apalagi haji,  namun  para pekerja alias  mukimin yang mencari penghidupan  di  kota Suci.  Kesan umumnya adalah: mayoritas mukimin sepertinya dari Asia Selatan :  India, Pakistan dan Bangladesh.  Para petugas di dua masjid suci  misalnya,  ternyata didominasi wajah-wajah ras anak benua  India.  Tukang sapu di  berbagai pelosok kota,  juga didominasi wajah  mereka.   Tak terkecuali  sopir travel dan  taksi,  selain kebanyakan berwajah Arab,  sebagian  pula bertampang ras India.    Orang yang mengantar dari Makkah ke Madinah adalah pula wajah pria Asia Selatan,  yang oleh Wawan dilabeli dengan sebutan pria bermata sendu.

Saya tak tahu,  apakah tatapan sendu itu merefleksikan hatinya yang sedang membiru,  akibat beban hidup yang terus mengharu biru..  Semoga saja tidak begitu.  Amin….

Namun,  hidup di Arab Saudi ternyata memang tak segampang yang kami bayangkan,  tak seindah apa yang kami kira,   tak  sebahagia apa yang kami duga. Terima  tahun-tahun belakangan,  sebab Arab Saudi sedang dilanda problem perekonomian.   Minyak  yang selama ini menjadi andalan,  harganya terjun bebas tak ketulungan.   Walhasil,  problem nasional Saudi akhirnya berpengaruh di segala lini,  termasuk berimbas pada orang asing  yang mencari penghidupan di negara ini.

TKI bernama Iwan Setiawan menyatakan bahwa hidup  di Saudi  berat sekali.  ”Mungkin saya akan segera pulang ke Bima”,  demikian katanya,  sebuah ungkapan yang mengandung pesan bahwa hidupnya jauh dari kebahagiaaan.  Lelaki muda berprofesi pelayan cattering ini sudah beristri,  namun statusnya masih siri..  ”Saya tak ada uang untuk melegalkan perkawinan,  karena biaya di sini sangat mahal  hingga jauh dari jangkauan”. Tanpa pertanyaan tambahan,  mas Iwan telah menjelaskan,  ” Saya pulang mengunjungi  istri seminggu cuma sekali,  mengingat biaya transportasi mahal sekali”.

”Kenapa tak kontrak di sekitar sini ?,  tanyaku pelan,  dan mas Iwan langsung  memberi jawaban,  ”Wah,  tidak mampu saya,  sebab kontrakan di sekitar kota  mahal harganya.   Saya dan istri mengontrak kamar di pinggiran kota,  500 real perbulan tarifnya.  Itupun kamar kosong tanpa AC, sehingga harus beli AC bekas agar tak kepanasan”.  Mas Iwan sejenak  diam,  lalu kembali bicara pelan, ”Sepertinya saya lebih baik pulang”.

Selain Iwan,  kami ketemu seorang wanita di Bandara,  TKW profesinya.  Wanita  asal Bandung itu  telah 9 tahun bekerja di Jeddah.  ”Gajiku kecil,  hanya 1.500 real sebulan”,  katanya pelan tak bermaksud membanggakan.   ”Kenapa ibu  bertahan dengan satu majikan,  meskipun kecil gaji yang diberikan ?,  tanyaku pelan.

”Orangnya baik”,  jawabnya singkat, ”majikan hanya suami istri tanpa ada anggota keluarga lain yang harus diurusi.  Bahkan,  sang majikan jarang di rumah,  lebih sering di Libanon”.  Itulah gambaran ”orang asing”  lainnya yang tinggal di Saudi Arabia.  Apakah si ibu ini bahagia ?   Tampaknya tidak juga, terefleksi dari ucapannya:  gaji nya hanya kecil saja,  yang jika  dikurskan dalam rupiah,  maka sebulan  mengantongi : Rp. 5.250.000 saja.  Padahal dia telah bekerja 9 tahun lamanya,  dengan lokasi  jauh dari keluarga ribuan kilometer jaraknya.

Di tengah penurunan ”kapasitas ekonomi”,  pemerintah akhirnya  membuat berbagai  aturan yang kian memberatkan  mukimin di Saudi.  Bensin naik harga hampir dua kali lipat  nilainya.  Orang asing diwajibkan punya ”kartu mukim” yang harus diperpanjang tiap tahunnya,  dengan biaya yang tak sedikit jumlahnya.  Selain itu,  berbagai  pelanggaran termasuk aturan lalu lintas kini didenda”luar biasa besarnya”.  Sangsi tersebut,  pada satu satu sisi mendorong ketaatan,  namun yang lebih tampak adalah  menjadi ajang negara untuk  mencari pemasukan.  ”Sekarang,  pada sektor ekonomi tertentu  hanya warga Saudi yang dibolehkan, sehingga menutup peluang ekonomi kaum pendatang”,   kata Mohammad Ayub menjelaskan.  Akibat berbagai kebijakan tadi,  Raja Salman menjadi kurang disukai  para mukimin di Saudi.

Warga non Saudi misalnya,  dilarang membuka toko,  dan bila ingin melakukannya, maka dia harus bekerjasama dengan orang Saudi.  ”Harus Joinan”,  itulah kebijakan yang diterapkan.  Selain sektor perdagangan,  warga Saudi juga diberi privilage dalam dunia pekerjaan.  Front Office hotel  dan  security alias satpam misalnya,  harus pula diberikan pada warga Saudi,  sebagai persyaratan bisnisman untuk membuka usaha.

Namun,  seiring kian sulitnya perekonomian,  akhirnya tak sedikit warga Saudi yang rela  bekerja sebagai pelayan toko ataupun restauran.  Hanya saja mereka tetap jaim perilakunya.  ”Sodiq,  ta’aal:  pelayan kemari”,  panggil pelanggan terhadap pelayan.  Sodiq arti sebenarnya : teman – kawan,  namun dalam konteks keseharian dipakai untuk memanggil pelayan.  Dalam konteks ini,  warga Saudi tak  mau dipanggil dengan sebutan Sodiq tadi.  ”Ana Su’ud:  Saya orang Saudi”,  komentarnya setiap kali ada yang memanggilnya Sodiq.

Itulah gambaran  bahwa di Saudi hidup kini  tak mudah lagi.  Dalam rangka mencari penghasilan non Minyak bumi, pemerintah Saudi  kini mulai membangun fasilitas wisata  (ziarah).  Saudi juga buat aturan,  siapapun berumroh lebih dari sekali dalam kurun satu tahun,  dia dikenakan biaya 2 ribu real (sekitar 7 juta rupiah) ketika mengurus visa.

”Intinya,  sekarang  tinggal di Saudi,  biayanya sangat tinggi”,  kata Mohammad Ayub kakak Mohammad Isa,  ”saya akan segera pulang bila pendidikan telah berhasil diselesaikan”. .

Dalam situasi kian sulit ini,  mahasiswa Indonesia untungnya punya kreativitas  untuk mengatasinya.  Terutama di Makkah – Madinah Kandidat  Doktor memiliki usaha  sampingan:  mengurusi jamaah Umroh.  Mas Nahidl  (di Madinah)  dan  Mubarok (di Makah)  misalnya, bekerjasama dengan travel Indonesia  untuk mengatur  akomodasi   (hotel  dan makan).  Kebanyakan kandidat Doktor sudah berkeluarga,  sehingga beasiswa tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Saya tak tahu,  berapa beasiswa bulanan yang mereka dapatkan.   Namun, sebagai gambaran mahasiswa S1 semacam mas Iztihar,  hanya mendapat 800 riyal sebulan kendati ditambah fasilitas asrama. Walhasil,  sebagai uang tambahan,  mahasiswa  S1 biasa menjadi guide perjalanan.  Adapula mahasiswa  yang menyewakan mobil  sekaligus menjadi  sopirnya,  seperti dilakukan kakak beradik  Mohammad Isa – Mohammad Ayub.  Ayub bahkan biasa berdagang dengan  ”biasa berburu baju diskon di pertokoan elit  Saudi,  lantas dikirim ke Indonesia untuk dijual kembali”,  kata Ayub  sembari borong baju tatkala antar kami  belanja di sebuah toko baju.  ”Baju musim panas biasa didiskon sampai 70 persen ketika menjelang musim dingin.  Baju itulah yang kami kirim ke Indonesia yang tak mengenal perbedaan musim panas dan dingin”.  Itulah beberapa contoh  mentalitas bisnis yang mereka bangun dalam rangka mensiasati tantangan hidup di Arab Saudi. ***

Memulai Kerja dengan Ibadah : Niat Ihrom di Atas Awan (Bagian 3)

Sabtu pagi,  1 April 2017, sekitar jam 10 a.m.  waktu Malaysia,    mas Khairy Fateh telah menjemput kami di hotel.  Tak butuh waktu lama kami telah melesat sampai  di bandara. Dengan sigap mas Khairy mengatur urusan Check in penerbangan,  lantas mengantarkan kami makan siang di sebuah restoran. Pada titik inilah  baru kusadari,  betapa hanya kami yang sudah berpakaian ihram di bandara di  Kuala Lumpur ini.  Di lokasi ini  sebenarnya banyak sekali kelompok-kelompok Umroh,  termasuk asal Indonesia yang jumlahnya justru terbilang banyak.  Namun,  jamaah umumnya  berseragam batik.  Sekali lagi,  hanya kami yang telah berbusana ihram. ”Waduh,  rekomendasi mas Ferly ternyata meleset kali ini”,  gerutu hatiku kala itu.

Situasi “asing”  ini tentu membuatku agak kikuk.  Kalbu seolah dibayangi-bayangi perasaaan bahwa ratusan pasang mata selalu memandang ganjil pada kami: berpakaian ihram  di tengah bandara internasional yang jaraknya masih lebih  9.000 km  dari kota Makkah.  Rasa Canggung senantiasa menggelayut di benakku.  Bahkan,  rasa sungkan selalu membatasi perilakuku.  Beban ini baru agak terurai ketika kami  menjalankan shalat Dluhur.  Sebab,  di mushola bandara itulah kami menemukan satu dua orang yang berbusana serupa:  kain  ihram. ”Alhamdulillah, ada temannya”,  gumamku lirih.

Cukup lama kami berlalu lalang di main terminal –   bandara Malaysia,  sebab kami sampai di lokasi  sekitar pukul 11.00 am, namun baru akan terbang di seputar jam 15.00 pm Malaysia. Ditargetkan kami akan sampai pada pukul 18.50. waktu Jeddah. Artinya,  kami  akan mendarat di tanah Arab ketika hari telah malam. Berpijak pada realitas inilah,  kami lantas menetapkan rencana:  sampai Jedah langsung menuju Mekah untuk berumroh tengah malam.  Dengan cara ini,  maka esuk hari:  kami bisa langsung bekerja,  setelah pada malam hari dimulai  dengan sebuah do’a (Umroh) pada Ilahi.

Menjelang sore,  pesawat Saudi Arabia telah menerbangkan kami  ke angkasa. Singkat kata,  selama sekitar 10 jam kami mengangkasa  mengarungi buana,  melintasi berbagai negara  dengan jarak tempuh hampir 10 ribu km  jauhnya.  Waktu berjalan pelan.  Jarak melipat lambat.  Tak banyak  hal bisa kulakukan.  Apalagi,  kondisi kami kala itu hanya bertangkup dua lembar kain sebagai busana,  sehingga  bergerak tak bisa leluasa. Sepanjang perjalanan  saya hanya mendengarkan  murotal,  lantunan ayat-ayat al Qur’an yang bisa kudapatkan dari audio visual yang disediakan maskapai penerbangan.  Justru dengan menyimak murotal inilah rasa sumpek bin  jenuh dapat kusingkirkan,  bahkan seringkali dapat menghanyutkanku  menuju alam istirah yang paling dalam:  tidur.  Alhamdulillah. Hanya ketika hendak menjalankan sholat,  dan hanya tatkala disuguhi makanan-minuman,   kami terbangun,  balik ke dalam kesadaran.

Sekitar satu jam sebelum waktu pendaratan,  kru pesawat mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan melewati miqot makani,  yakni batas lokasi  terakhir untuk dimulainya niat ihram.  Dengan segera,  saya mengambil air wudlu,  lalu berniat umroh : ”Labbaik Allahumma Umrotan:  Wahai Allah hamba menyambut panggilanMu untuk berumroh”. Sejak saat itulah,  berlokasi  di angkasa  atas Saudi Arabia itulah,  berbagai larangan dan atau kewajiban Ihram terkena pada diri saya.  Saya harus menjaga diri untuk menghindar dari pelanggaran larangan,  sebab jika melanggar tentu akan terkena  denda hukuman.  Sejak detik itulah,  bibirku lantas tiada henti untuk terus bertalbiah sebagai amalan sunnah yang diutamakan sampai kita memasuki masjidil haram.

Alhamdulillah,  pesawat sampai Jeddah tepat pada waktunya.  Pukul 18.30 waktu setempat, roda-roda  Saudi Arabian Airlines (SV 831) berderit  menapak  daratan, menandai kami sudah sampai pada tujuan. Singkat kata,  setelah urusan imigrasi dan bagasi selesai di atasi,  dan setelah mas Thalib, orang yang ditugasi mengurus transportasi kami di kota Jeddah ini,   berhasil menyediakan fasilitas transportasi,  kami langsung bergerak, berarak meninggalkan terminal selatan,  bandara Jeddah King Abdul Aziz Internasional.***

Ahok, Media, dan Teluk Jakarta

Sobat,  media massa acapkali diidealkan sebagai salah satu  pilar demokrasi.   Namun,  apa jadinya jika media  massa  telah bersikap sangat partisan,  apatah lagi menjadi  alat “stempel” penguasa ? Apa jadinya jika media massa telah kehilangan  sikap kritisnya  bahkan telah menjadi bagian dari alat  propaganda penguasa ?  Sekedar tahu,  berikut saya tampilkan Tulisan Redaktur Republika Abdullah Sammy yang “membahas”  betapa bahayanya apabila kekritisan media telah luntur,  menggerus fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
John Grosvenor Rowland. Nama politikus Partai Republik di Amerika Serikat ini sempat menjadi buah bibir.Pada tahun 1994, Rowland mencatat sejarah sebagai gubernur termuda Connecticut usai memenangi pemilu dengan suara 36 persen. Sosoknya yang masih muda, 37 tahun, serta dukungan luas media membuatnya dicitrakan sebagai calon rookie untuk maju di pentas nasional kelak. Dia tiga kali memenangi pemilu gubernur. Memasuki masa jabatan ketiganya, Rowland bahkan mulai digadang-gadang oleh media sebagai calon presiden atau wakil presiden Amerika mendatang.
Namun, kepemimpinan yang selama tiga periode dipoles oleh pencitraan di media ini berakhir dengan bencana besar.Skandal korupsi menghantamnya. Tak hanya itu, berbagai kasus suap pun bertubi-tubi menimpanya.  Karier Rowland pun berakhir tragis. Ibarat dari hero to zero, Rowland mengundurkan diri pada 2004, kini kegiatannya harus keluar masuk penjara.
Apa yang diawali Rowland membuktikan kalimat populer yang pernah diucapkan John Emerich Edward Dalberg-Acton, ‘power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.’ (Kekuasaan berpotensi untuk korup dan kekuasaan yang mutlak adalah korupsi yang absolut). Apa yang terjadi di Connecticut tentunya tak pernah kita hendaki terjadi lagi di Indonesia. Cukup sudah, bau busuk sebuah kekuasaan tertutupi berita harum media.
Kekritisan media yang luntur bisa memang menjadi awal dari segala bencana, layaknya di Connecticut. Indonesia pernah mengalami fase itu di orde yang lalu. Media ‘dininabobo-kan’ oleh dongeng kinerja penguasa.  Cerita rekayasa yang kedap dilempar untuk menutupi kekurangan yang terjadi di sana-sini. Ya, fase itu pernah kita alami. Dan mudah-mudahan ini tidak sedang terjadi lagi.
Hanya keledai bodoh tentunya yang terjatuh di lubang yang sama. Ini tentu mesti terus dicamkan dalam membina kehidupan bernegara. Sebab sebuah kritik akan jauh lebih berguna bagi penguasa dibanding sejuta puja di media.Kritik pada akhirnya bukan sekadar jadi keniscayaan tapi jadi kewajiban untuk mengontrol arah kekuasaan.
Sudut pandang kritis ini tentu mesti diarahkan secara tepat. Ini terutama dalam membahas kebijakan publik sang pejabat yang memiliki sekala pengaruh besar.

Baca lebih lanjut

Islam dan Musyawarah : Sebuah Model ? (Tulisan 2, Terakhir)

Terkait dengan pemilihan khalifah (pemimpin) dalam sejarah Islam pasca Nabi SAW,  Umar bin Khattab pernah menyatakan “Kalian boleh membunuh siapa saja yang menyebut dirinya sendiri atau orang lain  sebagai pemimpin tanpa bermusyawarah dengan umat Islam” (Abd. Razak bin Human al-San’ani, An Musannaf (Beirut: 1972). Begitu juga saat menjelang ajal, Umar berkata: “Kalian harus membunuh siapa saja di antara kalian yang menuntut jabatan kepemimpinan di antara kalian tanpa bermusyawarah dengan umat”.  Dengan demikian berarti, dalam pemerintahan Islam terdapat prinsip bahwa tidak ada pemimpin yang dipilih tanpa kehendak umat.  Sehingga, pemimpin yang tidak mendapatkan legitimasi umat wajib disingkirkan.Seberapa lamakah jabatan khalifah boleh dipegang oleh seseorang ?.  Jawabnya tidak dibatasi oleh waktu melainkan oleh kebenaran dan kemampuan.  Selama khalifah masih mampu memimpin dan tetap berpegang pada syariat Allah, maka selama itu pula ia tetap berhak menjadi khalifah.  Sebaliknya, bila dia melakukan pelanggaran atas syariat maka umat wajib menegurnya, atau bahkan bila perlu diturunkan dari jabatannya. Baca lebih lanjut

Pancaran hati