Selasa masih pagi. Namun, untuk ukuran Saudi sinar sang mentari telah terasa menyengat sekali. Kami barusan menyelesaikan satu urusan, yakni beli oleh-oleh untuk menghabiskan sisa uang. Tak ada agenda penting di hari Selasa ini, kecuali mengepak barang-barang bawaan. Sebenarnya tak terlalu banyak oleh-oleh yang kami beli, sebab uang tersisa memang tak banyak lagi. Namun, hadiah buku dari berbagai lembaga yang kami kunjungi, menyebabkan kami kesulitan mengatur ”tas bagasi”. Akhirnya, kami beli dua tas lagi, Fakhry beli satu atas nama pribadi, dan mas Hamdan dibelikan satu dalam status tim alias ”berbagi”. Walhasil, semua barang bawaan termasuk berbagai buku pemberian akhirnya berhasil kami bungkus secara rapi.
Di waktu sisa inilah aku menyempatkan diri berbaring meluruskan badan. Ah…, kataku mendesah. Seolah selaksa beban kerjaan yang berhari-hari membebani, hari Selasa ini sudah lepas dari pundak kami. Di tengah ”pembaringan” inilah, pikiranku melayang-layang lagi, seolah mengevaluasi pengalaman selama hampir dua minggu di tanah suci.
Di berbagai penjuru Saudi kami senantiasa berjumpa wajah-wajah asing non Saudi. Mereka bukanlah jamaah Umroh apalagi haji, namun para pekerja alias mukimin yang mencari penghidupan di kota Suci. Kesan umumnya adalah: mayoritas mukimin sepertinya dari Asia Selatan : India, Pakistan dan Bangladesh. Para petugas di dua masjid suci misalnya, ternyata didominasi wajah-wajah ras anak benua India. Tukang sapu di berbagai pelosok kota, juga didominasi wajah mereka. Tak terkecuali sopir travel dan taksi, selain kebanyakan berwajah Arab, sebagian pula bertampang ras India. Orang yang mengantar dari Makkah ke Madinah adalah pula wajah pria Asia Selatan, yang oleh Wawan dilabeli dengan sebutan pria bermata sendu.
Saya tak tahu, apakah tatapan sendu itu merefleksikan hatinya yang sedang membiru, akibat beban hidup yang terus mengharu biru.. Semoga saja tidak begitu. Amin….
Namun, hidup di Arab Saudi ternyata memang tak segampang yang kami bayangkan, tak seindah apa yang kami kira, tak sebahagia apa yang kami duga. Terima tahun-tahun belakangan, sebab Arab Saudi sedang dilanda problem perekonomian. Minyak yang selama ini menjadi andalan, harganya terjun bebas tak ketulungan. Walhasil, problem nasional Saudi akhirnya berpengaruh di segala lini, termasuk berimbas pada orang asing yang mencari penghidupan di negara ini.
TKI bernama Iwan Setiawan menyatakan bahwa hidup di Saudi berat sekali. ”Mungkin saya akan segera pulang ke Bima”, demikian katanya, sebuah ungkapan yang mengandung pesan bahwa hidupnya jauh dari kebahagiaaan. Lelaki muda berprofesi pelayan cattering ini sudah beristri, namun statusnya masih siri.. ”Saya tak ada uang untuk melegalkan perkawinan, karena biaya di sini sangat mahal hingga jauh dari jangkauan”. Tanpa pertanyaan tambahan, mas Iwan telah menjelaskan, ” Saya pulang mengunjungi istri seminggu cuma sekali, mengingat biaya transportasi mahal sekali”.
”Kenapa tak kontrak di sekitar sini ?, tanyaku pelan, dan mas Iwan langsung memberi jawaban, ”Wah, tidak mampu saya, sebab kontrakan di sekitar kota mahal harganya. Saya dan istri mengontrak kamar di pinggiran kota, 500 real perbulan tarifnya. Itupun kamar kosong tanpa AC, sehingga harus beli AC bekas agar tak kepanasan”. Mas Iwan sejenak diam, lalu kembali bicara pelan, ”Sepertinya saya lebih baik pulang”.
Selain Iwan, kami ketemu seorang wanita di Bandara, TKW profesinya. Wanita asal Bandung itu telah 9 tahun bekerja di Jeddah. ”Gajiku kecil, hanya 1.500 real sebulan”, katanya pelan tak bermaksud membanggakan. ”Kenapa ibu bertahan dengan satu majikan, meskipun kecil gaji yang diberikan ?, tanyaku pelan.
”Orangnya baik”, jawabnya singkat, ”majikan hanya suami istri tanpa ada anggota keluarga lain yang harus diurusi. Bahkan, sang majikan jarang di rumah, lebih sering di Libanon”. Itulah gambaran ”orang asing” lainnya yang tinggal di Saudi Arabia. Apakah si ibu ini bahagia ? Tampaknya tidak juga, terefleksi dari ucapannya: gaji nya hanya kecil saja, yang jika dikurskan dalam rupiah, maka sebulan mengantongi : Rp. 5.250.000 saja. Padahal dia telah bekerja 9 tahun lamanya, dengan lokasi jauh dari keluarga ribuan kilometer jaraknya.
Di tengah penurunan ”kapasitas ekonomi”, pemerintah akhirnya membuat berbagai aturan yang kian memberatkan mukimin di Saudi. Bensin naik harga hampir dua kali lipat nilainya. Orang asing diwajibkan punya ”kartu mukim” yang harus diperpanjang tiap tahunnya, dengan biaya yang tak sedikit jumlahnya. Selain itu, berbagai pelanggaran termasuk aturan lalu lintas kini didenda”luar biasa besarnya”. Sangsi tersebut, pada satu satu sisi mendorong ketaatan, namun yang lebih tampak adalah menjadi ajang negara untuk mencari pemasukan. ”Sekarang, pada sektor ekonomi tertentu hanya warga Saudi yang dibolehkan, sehingga menutup peluang ekonomi kaum pendatang”, kata Mohammad Ayub menjelaskan. Akibat berbagai kebijakan tadi, Raja Salman menjadi kurang disukai para mukimin di Saudi.
Warga non Saudi misalnya, dilarang membuka toko, dan bila ingin melakukannya, maka dia harus bekerjasama dengan orang Saudi. ”Harus Joinan”, itulah kebijakan yang diterapkan. Selain sektor perdagangan, warga Saudi juga diberi privilage dalam dunia pekerjaan. Front Office hotel dan security alias satpam misalnya, harus pula diberikan pada warga Saudi, sebagai persyaratan bisnisman untuk membuka usaha.
Namun, seiring kian sulitnya perekonomian, akhirnya tak sedikit warga Saudi yang rela bekerja sebagai pelayan toko ataupun restauran. Hanya saja mereka tetap jaim perilakunya. ”Sodiq, ta’aal: pelayan kemari”, panggil pelanggan terhadap pelayan. Sodiq arti sebenarnya : teman – kawan, namun dalam konteks keseharian dipakai untuk memanggil pelayan. Dalam konteks ini, warga Saudi tak mau dipanggil dengan sebutan Sodiq tadi. ”Ana Su’ud: Saya orang Saudi”, komentarnya setiap kali ada yang memanggilnya Sodiq.
Itulah gambaran bahwa di Saudi hidup kini tak mudah lagi. Dalam rangka mencari penghasilan non Minyak bumi, pemerintah Saudi kini mulai membangun fasilitas wisata (ziarah). Saudi juga buat aturan, siapapun berumroh lebih dari sekali dalam kurun satu tahun, dia dikenakan biaya 2 ribu real (sekitar 7 juta rupiah) ketika mengurus visa.
”Intinya, sekarang tinggal di Saudi, biayanya sangat tinggi”, kata Mohammad Ayub kakak Mohammad Isa, ”saya akan segera pulang bila pendidikan telah berhasil diselesaikan”. .
Dalam situasi kian sulit ini, mahasiswa Indonesia untungnya punya kreativitas untuk mengatasinya. Terutama di Makkah – Madinah Kandidat Doktor memiliki usaha sampingan: mengurusi jamaah Umroh. Mas Nahidl (di Madinah) dan Mubarok (di Makah) misalnya, bekerjasama dengan travel Indonesia untuk mengatur akomodasi (hotel dan makan). Kebanyakan kandidat Doktor sudah berkeluarga, sehingga beasiswa tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Saya tak tahu, berapa beasiswa bulanan yang mereka dapatkan. Namun, sebagai gambaran mahasiswa S1 semacam mas Iztihar, hanya mendapat 800 riyal sebulan kendati ditambah fasilitas asrama. Walhasil, sebagai uang tambahan, mahasiswa S1 biasa menjadi guide perjalanan. Adapula mahasiswa yang menyewakan mobil sekaligus menjadi sopirnya, seperti dilakukan kakak beradik Mohammad Isa – Mohammad Ayub. Ayub bahkan biasa berdagang dengan ”biasa berburu baju diskon di pertokoan elit Saudi, lantas dikirim ke Indonesia untuk dijual kembali”, kata Ayub sembari borong baju tatkala antar kami belanja di sebuah toko baju. ”Baju musim panas biasa didiskon sampai 70 persen ketika menjelang musim dingin. Baju itulah yang kami kirim ke Indonesia yang tak mengenal perbedaan musim panas dan dingin”. Itulah beberapa contoh mentalitas bisnis yang mereka bangun dalam rangka mensiasati tantangan hidup di Arab Saudi. ***