Selasa, 12 April 2017 siang. Tugas dan Pekerjaan sudah diselesaikan, sehingga kami sudah siap lahir batin untuk segera pulang. Walhasil, sekitar jam 12.00 kami telah meluncur ke bandara, agar mas Nahidl – mas Izdihar dapat mengurusi proses chek-in tidak dalam situasi tergesa-gesa. Arabian Airlines (SU) tetap dipilih mar Ferly, untuk mengangkut kami pulang ke Jakarta lagi. Jalur kepulangan kali ini tidak Madinah langsung Jakarta sebagaimana dilakukan kaum berhaji, melainkan jalur Madinah – Jeddah – Jakarta sehingga bisa menjadi bahan tambahan untuk catatan kami.
Bandara Madinah terbilang tak padat penumpangnya. Terkesan tenang – santai dalam suasana, sehingga meski beberapa jam nongkrong di sana tak membuat kami jenuh – penat karenanya. Ada dua hal menarik patut kucatat dalam tulisan ini:
Pertama, di bandara banyak kulihat keluarga dalam kondisi ihrom busananya, menandakan bahwa mereka akan berumroh bersama. Bagi mukimin Madinah miqot makani untuk Umroh – Haji ada di Zulhulaifah alias Bir Ali. Dari lokasi inilah perjalanan suci baru dimulai dengan mengaspal selama 6 -7 jam menuju Masjidil Haram di Mekah. Sekarang, dengan tersedianya penerbangan Madinah – Jeddah yang hanya butuh 1 jam saja, maka perjalanan Madinah – Makkah akhirnya hanya 2 jam pula, setelah ditambah 1 jam perjalanan Jeddah – Makkah sekitar 25 km jaraknya. Dengan singkatnya waktu perjalanan , maka prosesi umroh bagi warga Madinah menjadi tak terlalu melelahkan.
Kedua, di bandara juga kutemukan beberapa penumpang berbagi makanan pada penumpang lainnya. Ada yang bersedekah kurma, ada pula yang berbagi biskuit. Tradisi macam ini sebenarnya biasa tampak di dua tanah suci, masjidil haram – masjid nabawy. Namun, sedekah di bandara , baru kali ini kami mendapatinya. Tradisi ini hampir pasti tak akan pernah kita temui di berbagai bandara di muka bumi.
Waktu seolah berjalan cepat. Singkat cerita, sekitar jam 15.10 kami sudah mengudara. Hanya sekitar 1 jam kami melayang mengarungi Madinah – Jeddah dari angkasa. Tepat pada jam 16. 15 kami telah menapak kembali di kaki bumi, menelusuri bandara Jeddah yang 10 hari sebelumnya telah kami tapaki.
Jeddah memang beda dengan Madinah ataupun Makkah. Sebab, Jeddah bukan tanah suci, sehingga mereka yang ada di lokasi . tak semuanya Islam dan Islamy. Ada beberapa catatan terkait dengan bandara Jeddah ini:
Pertama, meskipun masih berada di Saudi, ternyata tak semua orang di lokasi memakai kerudung-jilbab seperti di tanah suci. Ku perhatikan ada satu dua perempuan Arab mengurai rambutnya, bahkan ada pula yang mengecat hingga berwarna pirang ujung-ujungnya. Lelaki Arab pun ada yang bercelana selutuh dan berkaos kutang lebar, sembari pamer tato pada kedua lengannya. Jika tatapan kita tertuju ke arah mereka, niscaya merasa seolah tak berada di Saudi Arabia. Sebaliknya, ketika pandangan terarah pada yang berjilbab, bergamis, bersorban, barulah aroma Saudi akan kembali terasa. Tapi, apapun kondisi berada di bandara Jeddah ini, kita tak bisa memaksa hati agar merasa sedang berada di tanah suci.
Kedua, Bandara Jeddah (juga Madinah) ternyata sangat berbeda situasinya dibanding era musim haji tiba. Pada musim haji, ketika jamaah berjubel sekali, aparat migrasi justru melayani santai lamban sekali. Anehnya, justru di luar musim haji, aparat lmigrasi justru dapat melayani cekatan sekali. Lho, kenapa demikian ? Saya tak punya jawaban. Mungkin ketika haji kita memang dicoba untuk mengembangkan kesabaran. Realitas kepabeanan di luar musim haji , akhirnya menepis prasangka kami, bahwa orang Saudi umumnya malas sekali. Ya Allah ampuni kami karena telah melihat orang dengan cara stereotipe dan apriori.
Ketiga, orang Saudi Arabia ternyata cukup mengenal Indonesia, terutama Puncak sebagai lokasi wisata. Dua kali di bandara Jeddah misalnya, saya sempat disamperi diajak bicara tentang wisata:
(1). ketika baru datang dari Indonesia, tatakala menunggu mas Thalib yang mengurusi perjalanan Jeddah – Makkah, seorang security bandara mendekati lalu bertanya pada kami, “Hal anta Indonesy : apakah anda orang Indonesia ?. “Naam : Ya”, jawabku spontan. Lantas petugas Saudi itu menceritakan bahwa ia setahun lampau pernah ke Jakarta, lantas ke Puncak untuk wisata. Dia bicara soal Jakarta yang macet sekali, namun yang paling berkesan adalah Puncak plus Taman Safari. “Hal zurta bi nafsika: apakah anda datang sendirian ?, tanyaku. “Ma’a ‘ailati: beserta keluargaku”, jawabnya.
(2). ketika menunggu jadwal pulang, dua pasang suami istri Saudi, juga menegur kami. “Anta Indonesy? Takallamta lughotal ‘Arobiy? : Apakah anda orang Indonesia ? Apakah bisa bicara bahasa Arab ?. “Qolilan: Sedikit”, jawabku. Dua pasang suami istri itu lantas cerita, bahwa mereka mau ke Indonesia. Agenda pertama, ke Bali, berikutnya akan terbang ke Pushang. ”Aina Pushang ? Pushang la maujud fii Indonesy : Dimana Pushang ? Tak ada Pushang di Indonensia ?, komenterku kala itu..
“Jabalul Hadhra’ : gunung hijau “, katanya menjelaskan, namun aku tetap tak paham maksudnya. Pria itu lantas mencarinya lewat peta Jakarta di Hpnya, ”Hadza Pushang, Miataani kilometer min Jakarta: Ini Pushang, dua ratus kilometer dari (bandara) Jakarta”.
“Oh..hadza. Ismuhu Puncak, laisa Pushang: oh ini…namanya Puncak bukan Pushang”, komentarku pelan setengah tertawa. Dan Arab muda itu juga tertawa setelah memahaminya.
Intinya adalah warga Saudi Arabia sedemikian mengenal Puncak sebagai lokasi Wisata. Memang, berkembang image di kalangan orang Indonesia, bahwa Arab dan Puncak diidentikkan dengan kawin kontrak. Sebagian memang benar, namun sebagian lain salah, sebab sebagian besar wisatawan Arab ternyata datang bersama keluarga, sebagaimana orang Arab yang menegurku di Jeddah baik ketika datang maupun ketika pulang..
Tak terasa waktu boarding telah tiba. Bahkan, Selasa 12 April 2017 pada jam 19.05 tepatnya, pesawat telah take off mengudara di langit Saudi Arabia. Selamat tinggal Jeddah. Selamat tinggal Makkah. Selamat tinggal Madinah. Semoga lain waktu kami berkesempatan untuk berziarah kembali. Ilalliqo’ : sampai jumpa lagi. .
Setelah 10 jam lamanya kami di angkasa, esuk harinya, Rabo 13 April jam 9 pagi kami telah landing di bumi Indonesia : Jakarta. Alhamdulillah …***