Kegelisahan Berasal Dari Kesalahan

Sobat, ingatkah sampean pada sebuah hadits yang pernah kita baca bersama, ketika  di madrasah dulu? Itu  lho, hadits  tentang definisi kemunkaran. Ingat kan ? Nabi  ketika ditanya oleh sahabatnya, apa tanda-tanda  suatu perbuatan adalah sebuah kemunkaran ? Nabi  menjawab, segala perbuatan yang menimbulkan kegelisahan di hati pelakunya.

Sobat, jawaban Nabi itu memang singkat, tapi sangat padat, plus sangat tepat. Setelah kurenung-renungkan apa yang  disabdakan Nabi memang akurat sekali. Sebab, siapapun yang melakukan kemungkaran pasti  akan merasakan kegelisahan. Ketika bohong,  gelisah takut ketahuan kebohongannya. Tatkala mencuri, gelisah takut ketahuan si pemiliknya. Waktu berzina, gelisah takut kepergok siapa saja. Ketika ngintip, tlingak-tlinguk dahulu takut pula ada yang tahu. Bahkan, sekecil apapun sebuah kemungkaran, pasti si  pelaku akan dilanda kegelisahan. Tentu saja, tingkat kegelisahan tergantung pula pada tingkat kemungkaran yang dilakukan. Semakin besar kemungkaran, semakin besar pula kegelisahan.

Namun, sobat, tingkat kegelisahan, pada akhirnya juga terkait dengan tingkat kesadaran nurani, rasa malu di hati,  dan kepekaan budi. Ketika seseorang telah sangat terbiasa melakukan kemungkaran bin kejahatan,  maka tingkat  kegelisahan bisa menipis,  kendati pasti masih tetap ada. Apa pasal ? Karena hatinya sudah membatu, itulah ungkapan yang biasa kita ucapkan. Orang model ini,  Allah telah menutup hati dan pendengaran mereka, begitu juga dengan penglihatan mereka  dari nilai-nilai kebajikan. Khotamallaahu ‘alaa quluubihim wa’alaa sam’ihim wa’alaa abshoorihim ghisyaawatun walahum ‘adzaabun ‘adziim  (Q.S. AlBaqoroh: 7).

Kemungkaran terhadap hati manusia itu ibarat karat terhadap besi. Bila karat dibiarkan, dia akan merembet makin banyak dan makin banyak, menggerogoti besi. Walhasil, besipun  akhirnya habis tak tersisa dimakan karat. Hati demikian pula, kemungkaran yang  dibiasakan, berlangsung terus menerus, pada akhirnya akan menghancurkan kepekaan hati si manusia.

Sebaliknya, hati yang bersih    ibarat cermin yang juga bersih. Sedikit saja  cermin tertempel  setitik kotoran, pasti langsung kelihatan. Hati yang bersih juga seperti itu, sedikit saja dia dicemari oleh kemungkaran, ia pun pasti akan langsung gelisah dan terus gelisah minta dibersihkan melalui pertaubatan. Hanya dengan tetap menjaga hati dari kemungkaran, maka ia menjadi tentram.  Hati orang model ini  tak pernah takut pada siapapun, sebab  ia memang tak merasa punya kesalahan.

Sobat, ada sebuah ilustrasi menarik terkait dengan soal pemikiran tadi, yakni kisah anak kecil bernama Abdullah yang hidup era pemerintahan Umar ibnul Khotob. Begini ceritanya,

Salah seorang sahabat Nabi bernama Zubair bin Awwam memiliki seorang putra bernama Abdullah. Putra  dari sohib karib nabi ini sejak kecil terkenal sebagai anak yang kuat, gigih dan kokoh dalam mempertahankan kebenaran, persis seperti sikap bapaknya. Ketika bicara fasih ucapannya, tatkala berbuat salah segera menyadari kekeliruannya, mau mengakui kesalahan, serta bersedia menanggung hukuman apapun lewat persidangan.

Suatu hari Abdullah bermain-main dengan rekan-rekan sebayanya. Kala itu, lewatlah khalifah Umar bin Khottob. Sebagai kebiasaan setiap jumpa anak-anak  Umar pasti menyempatkan bertanya banyak hal, termasuk apakah sudah sholat dan lain sebagainya. Jika, sang anak belum sholat misalnya, pasti segera ditegurnya. Melihat Amirul Mu’minin datang, kontan semua lari berhamburan. Yang pasti, hanya Abdullah seorang yang berdiri di tempatnya, tidak menghindar dari kepala negaranya.

Melihat Abdullah tidak lari sebagimana yang lainnya, Umar tentu bertanya, “Wahai Abdullah, kenapa engkau tak ikut lari dengan teman-temanmu, menghindar dariku ?.

Abdullah langsung menjawab mantap, “Kenapa saya harus lari wahai Amirul Mu’minin? Aku tidak berbuat kesalahan apapun, sehingga saya tak merasa harus menghindar darimu. Lagi pula jalanan pun tidak sempit, sehingga saya tak merasa perlu melonggarkan jalan untuk mu”.

Khalifah umar lantas   bertanya, “apakah engkau sudah sholat?.

Abdullah langsung menukas tangkas, “Sudah. Saya bahkan telah tadarus al Qur’an dan hadits. Saat ini saya sedang mengistirahatkan diriku dengan bermain, untuk mempersiapkan mentalku dapat bersungguh-sungguh dalam belajar nanti“.

Mendengar jawaban sang bocah, sang khalifah bersyukur seraya bertutur,  “Jazakallah wahai anakku“.

Sobat. Manusia muslim tak perlu merasa takut pada siapapun tapi hanya perlu takut kepada Allah.  Sebab, dalam setiap sholat muslim pasti mendeklarasikan Allahu Akbar, Allah yang paling besar, sedang yang lainnya kecil. Manusia  adalah makhluq paling utama, bahkan lebih utama dibanding jin, setan, atau apapun makluqnya termasuk malaikat pula. Jika manusia paling utama maka kenapa mesti takut pada yang lainnya.

Ketika manusia tak melakukan  kesalahan apapun,  tak sepantasnya takut pada  siapapun. Ketika manusia melihat kemungkaran, idealnya segera lakukan  teguran tanpa rasa  takut apalagi kecemasan, asal dilakukan dengan penuh kebijakan. Sebab, orang melihat kemungkaran namun  dia mendiamkan, dia persis seperti  setan bisu. Hadits nabi menyatakan,  orang yang kuat bukanlah mereka yang kekar badannya, tapi mereka yang berani berkata kepada penguasa zalim, “anda  salah”.

Manusia juga tak perlu takut pada sesama, pada atasan, pimpinan, orang tua, dan seterusnya, karena ketakutan manusia hanya untuk ditujukan pada Allah Ta’ala. Takut melanggar perintah Nya,  takut melakukan larangan Nya alias kemungkaran dalam hidupnya.

Hal yang boleh dilakukan seseorang pada atasan, orang tua, pimpinan bukan rasa takut, tapi lebih sebagai rasa segan dan penghormatan. Segan untuk malas bekerja, karena atasan akan memberikan sangsi padanya. Namun, ketika waktu sholat telah tiba –bahkan hampir lewat– dan pimpinan terus melanjutkan rapatnya, bawahan tak boleh segan untuk minta ijin melakukan sholat duluan dengan terang-terangan. Meninggalkan sholat akibat takut  dan enggan pada atasan, berarti telah menempatkan atasan melampaui pososi Tuhan. Orang  model itu  Rosul telah menyindir sebagai telah merendahkan dirinya:  seseorang diantaramu janganlah menghina dirinya. Mereka bertanya, “wahai Rosulullah, bagaimana  kami bisa menghinakan diri ? Rosul menjawab: Ia melihat urusan Allah yang didalamnya ada tempat untuk berpendapat, ia tidak berpendapat. Besuk pada hari kiamat  Allah Yang  Maha Mulia dan Maha Besar akan berfirman padanya: “Apakah yang mencegah kamu untuk berpendapat  begini dan begitu ?.  Ia menjawab:”karena  aku takut manusia”. Allah berfirman, “Hanya Akulah yang berhak  ditakuti” (H.R. Ibnu Majah).***

DHURORUDIN MASHAD

Foto: Tumbir.com

Tinggalkan komentar