Posts Tagged ‘persatuan’

Agama dan Faktor Perpecahan – Persatuan: Di Balik Lahirnya Negara Pakistan (Tulisan 3, Terakhir )

Para pemimpin Muslim (termasuk Ali Jinnah) semula sama sekali tidak mempersoalkan pilihan mereka pada program pemisahan dalam pengertian yang berkaitan dengan wilayah.  Mereka hanya mendasarkan tuntutan agar umat Islam di anak benua India diakui sebagai masyarakat tersendiri dalam negara dan diberi perwakilan seimbang dalam segala tingkatan.

            Namun, gagasan keseimbangan tersebut akhirnya ditolak Congress National yang berambisi ingin tetap berkuasa mutlak.  Kenyataan demikian akhirnya membuat kalangan Islam kian curiga pada ambisi dominasi Hindu. Bahkan fakta sosial pun ikut memupuk rasa kecurigaan itu, seperti, kondisi sosial ekonomi masyarakat Hindu yang jauh lebih mapan dibanding masyarakat Muslim, kebijakan-kebijakan Inggris yang lebih memihak dan menguntungkan golongan Hindu, serta adanya perbedaan pandangan dan sikap hidup secara mendasar akibat dilandasi oleh nilai-nilai agama yang berbeda secara mendasar pula.  Akibatnya, muncullah suatu keinginan di kalangan Islam untuk membentuk negara bangsa sendiri terpisah dari India, sebagaimana dicetuskan Muhammad Iqbal, seorang penyair, filosof, sekaligus politisi masyur di kalangan Islam India abad 20 (tahun 1875-1938).

            Dalam pidato presidensialnya pada sidang tahunan Liga Muslim di Allahabad tahun 1930, Iqbal menegaskan pendirian “umat Islam India” dengan menyatakan : “Barat Laut, Sind, dan Baluchistan lebur dalam suatu negara tersendiri.  Pemerintahan sendiri dalam naungan kerajaan Inggris ataupun tanpa kerajaan Inggris. Pembentukan negara Muslim India Barat Laut tampaknya merupakan ketentuan akhir bagi  golongan Muslim, setidak-tidaknya golongan Muslim India Barat Laut.”( Media Indonesia, 23 Maret 1989).

            Sejak saat itu Liga Muslim dan Ali Jinnah yang  diangkat menjadi Quaid-i-azam (pemimpin besar) bagi perjuangan itu memanfaatkan simbol-simbol dan slogan-slogan Islam untuk membina suatu gerakan rakyat yang tujuannya adalah sebuah bangsa yang terpisah, suatu tanah air Muslim yang di dalamnya kaum Muslimin dapat bebas memberlakukan pandangan hidup mereka.  Secara jelas Jinnah menyatakan :  “Untuk memberlakukan bersama dua bangsa itu dalam suatu negara tunggal, yang satu sebagai minoritas dan yang lain sebagai mayoritas, sudah pasti menjurus kepada pertumbuhan rasa tidak puas dan akhirnya (mengarah pada) pembongkaran suatu struktur yang mungkin juga bangunan bagi pemerintah negara itu.” (John L.  Esposito,  hlm.  228-229).

            Pada kesempatan lain ia juga menyatkan, “Muslim adalah suatu bangsa sesuai dengan definisi suatu bangsa.  Dan Muslim harus memiliki tanahnya, wilayahnya, dan negaranya.  Kita berharap dapat hidup damai dan harmonis dengan tetangga-tetangga.  Kita berharap dapat membangun dengan bebas dan merdeka, dengan sepenuhnya dijiwai kehidupan spiritual, budaya, ekonomi, sosial dan politik kita, dengan cara-cara yang kita anggap terbaik dan sesuai dengan idealisme kita sendiri, benar-benar dan sesuai dengan tuntutan dan kepentingan rakyat kita…..Marilah kita berperan sebagai pelayan Islam yang mengatur rakyat secara ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik.  Dan saya yakin bahwa kalian akan menjadi suatu kekuatan yang akan diterima oleh setiap orang.”

            Setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan  akhirnya keinginan Muslim India untuk membentuk negara terpisah mulai memperlihatkan hasil.  Keberhasilan itu menjadi kian jelas terutama sejak terbentuknya suatu konvensi yang beranggotakan Muslim dalam badan legislatif propinsi dan pusat yang dibentuk di New Delhi, dipimpin Quaid-i-azam Ali Jinnah pada tanggal 8-9 April 1946.  Dalam konvensi tersebut  suatu resolusi diajukan oleh Mr.  H.S. Suhrawardy yang intinya adalah : “Bangsa Muslim tidak akan pernah ikut serta dalam suatu konstitusi tunggal bagi suatu India bersatu, dan tidak akan pernah ikut serta dalam lembaga apapun yang bertujuan untuk mewujudkan hal itu…” (Cronology of Pakistan Movement, March 23, 1940 – Agustus 14, 1947, (Islamabad: Pakistan Publications P.O.  Box No. 1102 Islambad, tanpa tahun), hlm. 29).

            Hasil perjuangan tersebut mencapai puncaknya pada tanggal 14 Agustus 1947 dengan ditandai oleh upacara peralihan kekuasaan yang diadakan di Karachi, yang menandai berdirinya negara Pakistan.  Selanjutnya, pada 15 Agustus 1947 Ali Jinnah dipilih menjadi Gubernur Jendral dan Liaquat Ali Khan diangkat sebagai Perdana Menteri pertama.

Agama dan Faktor Perpecahan – Persatuan: Di Balik Lahirnya Negara Pakistan (Tulisan 2 dari 3)

Selama gerakan kemerdekaan melawan kolonial Inggris para pemimpin Hindu dan pemuka Muslim India sebenarnya menghendaki sebuah Front Nasional.  Maulana Abdul Kalam Azad (1888-1958) misalnya, seorang tokoh Muslim yang selalu menyeru bagi persatuan Hindu-Muslim dalam rangka melawan kolonial Inggris.  Bahkan Azad memperluas konsep Jihad, menyamakannya dengan perjuangan kemerdekaan yang di dalamnya umat Hindu juga dapat ikut serta. Kalangan Barat sering menerjemahkan Jihad hanya sebagai Holy War (perang suci).  Sebenarnya Jihad berasal dari kata Jahada, yaitu berusaha hingga sampai tujuan.  Dalam Islam Jihad berarti bersungguh-sungguh dalam setiap usaha yang diridloi Allah untuk tercapainya tujuan dengan hasil yang baik.  Bahkan melawan hawa nafsu juga termasuk jihad.  Jadi bukan semata-mata hanya dengan mengangkat senjata (pedang) saja, tetapi semua usaha untuk tercapainya da’wah Islam (A’la Maududi, “Jihad di Jalan Allah”, dalam Jihad Fi Sabilillah, (ed.), (Jakarta: Media Da’wah, 1986), hlm.  17, 24).

            Azad menyatakan: “Ingatlah bahwa patriotisme juga dituntut dari umat Hindu agar mereka berjuang demi kemerdekaan negara mereka.  Bagi Umat Islam, hal ini merupakan tugas agama, yaitu jihad. Kalian adalah pejuang-pejuang yang bertempur untuk Tuhan dan Jihad termasuk setiap usaha yang dilakukan atas nama kebenaran dan kemerdekaan.  Saat ini orang-orang itu (Hindu, pen) yang ikut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan negara adalah jihad juga.  Kalian mestinya berada di garis terdepan dalam jihad ini.” (Edward Mortimer, Islam dan Kekuasaan, terj.  Enna Hadi Dan Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 177).

            Namun, antusiasme para pemimpin Hindu dan Muslim untuk mewujudkan India bersatu ternyata sulit terealisir. Rasa saling curiga dan cemburu antara Muslim dan Hindu menjadi hambatan utama bagi terwujudnya tujuan itu. Berbagai pertentangan berakar dari nilai budaya, ekonomi dan terutama keagamaan demikian kuatnya, sehingga walaupun telah hidup bersama selama berabad-abad, pengertian dan perasaan  kebersamaan yang merupakan landasan bagi suatu rasa kebangsaan tak pernah dapat tercipta.  Agama yang menjadi bagian Integral dari dua  budaya tradisional besar di India, serta menjadi suatu sumber kekuatan yang mengilhami dan menjamin serta melestarikan identitas hidup mereka akhirnya disalah mengertikan menjadi suatu fenomena yang distruktif-chauvinistis. Adanya saling curiga yang berlandaskan semangat komunal Hindu-Muslim akhirnya sangat merongrong upaya persatuan India.

            Jurang pembatas tersebut menjadi semakin lebar saat politik baru demokrasi ala Inggris diterapkan, yang memberi keuntungan lebih kepada golongan Hindu yang mayoritas dibanding golongan lain yang minoritas, termasuk kalangan Muslim. Padahal, bagi Muslim sebagai suatu “bangsa” yang hampir 1000 tahun berpengalaman sebagai raja-raja  atau penguasa –termasuk di India– tentu tak akan rela diubah menjadi suatu golongan minoritas yang dirugikan. Oleh karena itu, tidak aneh jika tujuan utama aktifitas politik di kalangan Umat Islam menjadi semakin bersifat anti Inggris, terutama setelah tahun 1911, yakni  ketika Inggris mengalah terhadap tekanan Hindu untuk membatalkan pembagian Bengali, yang isinya umat Islam diberi janji bahwa Bengali Timur, yang di daerah itu Muslim jelas mayoritas, akan tetap diakui sebagai propinsi yang terpisah.

            Penempatan Muslim dalam posisi marginal dalam spektrum politik tersebut akhirnya merangsang para pimpinan Muslim, seperti Mohammad Ali Jinnah, untuk memperjuangkan dan mendesak status yang sama bagi mereka.   Desakan yang dilontarkan mengarah pada keinginan adanya pengakuan kesamaan kelembagaan antara Liga Muslim seluruh India dengan Congress Nasional seluruh India dalam perjanjian Lucknow tahun 1916. Tetapi, satu hal penting yang harus dicatat adalah para pemimpin Muslim (termasuk Ali Jinnah) pada waktu itu tidaklah mempersoalkan pilihan mereka pada program pemisahan dalam pengertian yang berkaitan dengan wilayah.  Mereka hanya mendasarkan tuntutan agar umat Islam diakui sebagai masyarakat tersendiri dalam negara dan diberi perwakilan seimbang dalam segala tingkatan.

Agama dan Faktor Perpecahan – Persatuan: Di Balik Lahirnya Negara Pakistan (Tulisan 1 dari 3)

Pakistan lahir tahun 1947 sebagai akibat dari pembedahan jazirah India menjadi 2 negara, yang satu India sebagai negara nasional sekuler, dan yang lain Pakistan sebagai negara agama.  Pakistan lahir di bawah pimpinan Muhammad Ali Jinnah, seorang tokoh Liga Muslim.  Semula Jinnah adalah anggota Congress National yang memperjuangkan India merdeka dan bersatu mengatasi perbedaan agama, bahasa, ethnis dan sebagainya.  Namun, karena adanya rasa saling curiga yang muncul akibat primordialisme, akhirnya pada tahun 1940 Ali Jinnah mulai memperjuangkan lahirnya suatu negara Muslim di Pakistan, lepas dari bagian-bagian lain Jazirah India.

            Tuntutan Jinnah bagi suatu negara Muslim terpisah tersebut meliputi Baluchistan, Bengali Timur, Propinsi Perbatasan Barat Laut, Punjab Barat dan Sind, membentuk suatu koleksi dari keaneka-ragaman kelompok-kelompok ethnik dan linguistik dengan sedikit kesamaan kecuali agama.  Gagasan Ali Jinnah tersebut akhirnya melahirkan negara Pakistan.

            Islam mulai masuk ke anak benua India pada tahun 711 M, lewat serangan-serangan orang Arab (dipimpin Muhammad Ibnu Qosim) terhadap wilayah Sind.  Namun pemukiman dan pemerintahan Muslim benar-benar dimulai baru pada abad 10 M oleh orang-orang Ghazaravid, Asia tengah, yang mendirikan ibukotanya di Lahore tahun 1021 M.  Mulai saat itu pemerintahan dan kebudayaan Islam berkembang pesat di India dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Dinasti Mughal, tahun 1526-1857. 

            Sejak abad 11 M, orang-orang Islam walaupun waktu itu jumlahnya tak lebih dari seperempat dari seluruh penduduk di anak benua tersebut, namun telah memegang kendali kekuasaan, memerintah mayoritas Hindu.  Selama minoritas Islam memerintah, meskipun interaksi antara Muslim dan Hindu berjalan secara berkelanjutan, namun tak pernah mengarah pada wujud pembauran walaupun juga tak dapat dikatakan bermusuhan.  Kedua komunitas ini tetap secara mendasar mununjukkan realitas perbedaan (John L. Esposito, Agama dan Perubahan Sosio-Politik, terj. S.H.S, (Jakarta: Aksara Perdata, 1983),hlm. 227).

            Setelah kolonial Inggris masuk India, pemerintahan Muslim mulai menurun.  Walaupun pada awal abad 18 M dan seterusnya seorang pimpinan Mughal tetap berada di atas tahta, tetapi Inggris semakin mendominasi kehidupan politik dan ekonomi.  Proses ini mencapai puncak setelah dihapuskannya pemerintahan Muslim Moghul serta dibentuknya pemerintahan kolonial Inggris secara resmi.  Peristiwa ini terjadi terutama setelah gagalnya Sepoy Mutiny tahun 1857 –yang oleh kaum nasionalis India disebut Perang Kemerdekaan India pertama melawan kolonial Inggris (Fathi Yakan, Gerakan Islam di Abad modern, terj. Masrur Zaenuddin, (Jakarta: Media Da’wah, 1987), hlm. 52. Juga lihat Richard L.  Wheeler, The Politics of Pakistan: A Constitution Quest, (Ithaca and London: Cornel University Press, 1970), hlm.  2-7)– dengan dipimpin penguasa Muslim, Moghul.

            Selama gerakan kemerdekaan melawan kolonial Inggris para pemimpin Hindu dan pemuka Muslim India sebenarnya menghendaki sebuah Front Nasional.  Maulana Abdul Kalam Azad (1888-1958) misalnya, adalah seorang tokoh Muslim yang selalu menyeru bagi persatuan Hindu-Muslim dalam rangka melawan kolonial Inggris.  Azad mendesak umat Islam untuk membebaskan diri dari kekhawatiran terhadap mayoritas Hindu, yang dikatakannya telah dengan sengaja ditanamkan dalam pikiran mereka oleh kolonial Inggris. 

Waspadai Musuh Persatuan-Persaudaraan

Sobat,  terus terang, akhir-akhir ini saya merasa agak gundah dengan kehidupan keagamaan kita, umat Islam. Lho, kok bisa ?  Kenapa ?  Bukankah, animo masyarakat dalam mengkaji Islam kian membahana di seluruh dunia ? Bukankah  masyarakat kita makin banyak yang berbaris menunaikan haji ke tanah suci ? Bukankah pula, lautan jilbab kian mewarnai  keseharian bumi kita ?  Lantas apa yang disedihkan? Itulah mungkin seabreg tanda tanya dari sampean.

Serentetan pertanyaan yang mungkin sampean ajukan memang benar adanya. Cuma, satu  hal sampean masih perlu mencermati lagi yakni fenomena maraknya pemikiran aneh-aneh di kalangan umat  yang kian memprihatinkan. Bungkusnya bisa macam-macam, dan merk yang mereka tampilkan juga bisa kebarat-baratan. Tulisan-tulisan sebagai ekspresi pemikiran mereka juga diramu dengan bahasa yang genit. Mungkin, agar terkesan trendy dan terasa catchy. Itu hanya mungkin lho ? Hanya analisis dan bukan su’udzon. Mereka ada yang menyelenggarakan jum’atan pria-wanita dengan imamnya  seorang wanita seperti yang  sempat terjadi di Amerika. Ada pula masjid khusus cewek  yang sempat berdiri di  Belanda. Di negeri kita pun bermunculan pikiran-pikiran tak kalah nyleneh dan aneh nuansanya. Terus terang, sobat, kenyataan itulah yang membuat saya gundah, bingung,  sedih. Memang  sih, pemikiran aneh ini sedikit sekali. Tapi, ekspose pemikiran mereka  di media tak ketulungan hebatnya. Baca lebih lanjut